News

Hutang Pemerintah RI Sudah Capai Rp3.706 Triliun

Total utang pemerintah per Juni 2017 telah mencapai 3.706,52 triliun rupiah. Dari jumlah ini, sebanyak 2.979,5 triliun rupiah berupa utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan sisanya, 727 triliun rupiah merupakan pinjaman bilateral maupun multilateral.

Berdasarkan data yang dirilis Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Senin (24/7), total utang pemerintah tersebut mengalami kenaikan 34,19 triliun rupiah dibandingkan bulan sebelumnya, yakni Mei 2017 yang tercatat sebesar 3.672,33 triliun rupiah.

Selain itu, dalam denominasi dollar AS, jumlah utang pemerintah per Juni 2017 sebanyak 278,29 miliar dollar AS, naik tipis dari posisi akhir Mei 2017 yang sebesar 275,68 miliar dollar AS.

Menanggapi jumlah utang pemerintah yang kian membengkak, anggota Komisi XI DPR, Haerul Saleh, mengatakan pemerintah mesti memberikan data lengkap mengenai utang dan peruntukannya. Sebab, hingga saat ini utang yang sudah mencapai 3,706 ribu triliun rupiah tidak berdampak signifikan bagi rakyat miskin.

Bahkan, angka kemiskinan malah bertambah. “Jadi, tidak ada dampak positif yang bisa dirasakan rakyat,” ujarnya saat rapat kerja dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, di DPR, Jakarta, Senin (24/7). Haerul juga mengusulkan agar penggunaan dana-dana yang tidak efektif dan bersumber dari utang dapat diefisiensikan.

Tujuannya agar nantinya tidak memberatkan APBN karena harus menanggung cicilan utang dan bunga yang sebenarnya anggaran tersebut tidak diperlukan. “Kalau ada pengurangan anggaran pada kementerian dan lembaga, seharusnya dana-dana yang bersumber pada utang saja yang dikurangi,” kata Haerul.

Anggota Komisi XI DPR lainnya, Hafidz Thohir, juga heran dengan anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk infrastruktur hingga mencapai lima ribu triliun rupiah.

“Ini untuk siapa? Tidak mungkin itu untuk rakyat miskin. Kalau bicara angka-angka, tapi target tidak tercapai buat apa? Mencetak utang banyak, lalu siapa yang akan menanggungnya? Kan anak cucu kita nantinya,” tegas Hafidz.

Hafidz menegaskan pemberian label layak investasi atau investment grade seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk berutang. “Saya bukan yang anti-utang, tapi untuk apa dulu? Tapi, kalau untuk infrastruktur akan membebani neraca keuangan kita,” kata dia.

Pemerintah seharusnya melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang alokasinya 80 triliun rupiah per tahun. Daripada pemerintah tersandera membayar utang warisan masa lalu, sebaiknya digunakan untuk program pembangunan yang produktif.

Di tempat yang sama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menjelaskan utang luar negeri Indonesia sebenarnya hanya sedikit. Utang lebih banyak diterbitkan dalam bentuk surat utang negara yang bisa saja dari dalam negeri maupun luar negeri. “Pertanyaan yang perlu dijawab, kenapa Indonesia perlu belanja yang besar hari ini.

Hampir 20 tahun ketersediaan infrastruktur di Indonesia indeksnya turun bukan naik. Bahkan pada tahun 1990, indeks ketersediaan infrastruktur hanya 60 persen,” papar Sri Mulyani. Dengan PDB yang meningkat, infrastruktur tidak bisa mengikuti mobilitas kelas menengah.

“Saya rasa yang tinggal di Jakarta sudah bisa melihat kemacetan mengurangi produktivitas,” ujar Sri Mulyani.

Ditanya Utang Negara Rp3.706 Triliun, Begini Jawaban Sri Mulyani ke DPR

Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mempertanyakan utang Indonesia yang semakin besar. Dari rilis Kementerian Keuangan, utang Indonesia sampai Juni 2017 sebesar Rp3.706,52 triliun. Angka ini meningkat sebesar Rp34,19 triliun dibandingkan bulan sebelumnya.

DPR pun meminta penjelasan pemerintah kenapa utang tersebut terus naik. Sebab, banyak masyarakat yang tidak paham atas kenaikan utang negara tersebut.

Menjawab hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah menyiapkan jawaban khusus untuk utang. Oleh karenanya, diperlukan sesi khusus untuk membahas seperti apa utang Indonesia.

“Kami sudah siapkan bahan. Selama ini kan DPR sangat konstruktif untuk pahami keseluruhan APBN, dan paham belanja dan penerimaan tidak sama,” tuturnya di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (24/7/2017).

Dia mengatakan, utang negara Amerika Latin di era 1980 bisa meminjam ke konsorsium bank swasta. Konspirasi seperti ini bisa saja dilakukan Indonesia, tapi utang seperti ini beda sekali dengan yang sekarang.

Utang RI komposisinya semakin sedikit utang luar negeri (ULN) dari multilateral dan bilateral, lebih banyak pada surat berharga negara (SBN).

“Tapi pertanyaan yang perlu dijawab kenapa Indonesia perlu belanja sedemikian besar hari ini? Karena hampir lebih 20 tahun, investasi di negara di bidang infrastruktur. Indeks ketersediaan infrastruktur pada 1990-an 60% terhadap PDB, sekarang 35%,” tuturnya.

Artinya, kata Sri Mulyani, bukan PDB naik yang membuat infrastruktur semakin naik, tapi di tengah kelas menengah naik kemudian infrastruktur tidak mencukupi, maka biaya tinggi. Oleh karena itu, infrastruktur sangat diperlukan.

“Kami juga perlu investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur. Indonesia perlu juga investasi SDM sekarang juga, itu kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Selain itu, kami juga perlu lindungi masyarakat miskin,” jelas dia.

Selain itu, kata Sri Mulyani, utang dan pajak tidak bisa diidentifikasi secara masing-masing. Di mana ketika kebutuhan belanja tidak cukup, utang diperlukan dengan cara menerbitkan SBN.

“Maka uang utang dan pajak berkumpul jadi satu di kas negara. Enggakbisa katakan USD1 ke mana? Beda kalau kita dapat dari Bank Dunia misalnya untuk irigasi, ketahuan uangnya ke mana. Tapi ketikan Menteri Keuangan terbitkan SBN baik di Indonesia atau Luar Negeri, uangnya langsung masuk ke akun pemerintah bersama uang pajak,” tandasnya.

To Top